Bau sampah dari tumpukan sampah tak menyurutkan semangat 2 pria kecil yang sedang mengais sampah untuk mencari botol bekas agar bisa ditukar di pengepul dengan beberapa rupiah untuk makan hari ini. Ahmad dan Abdul nama kedua anak itu, demi sesuap nasi keduanya harus rela menghabiskan waktu mereka di tumpukan sampah setiap harinya.
“Gimana nih, Mad? Udah hampir dzuhur kita baru dapet sedikit.” keluh Abdul pada Ahmad sambil melirik karung kumalnya yang baru berisi sedikit botol. Ahmad tersenyum tipis sambil ikut melongok ke karungnya, jumlah botolnya tak jauh berbeda dengan jumlah botol yang di dapat Abdul. “Udah nggak papa, Dul. Alhamdulillah masih dapet botol.” sahut Ahmad berusaha melegakan Abdul yang tampak sedih.
Tak lama kemudian, adzan dzuhur berkumandang.
“Nah itu udah adzan, yuk kita shalat dzuhur dulu. terus nanti lanjut ke komplek perumahan Mutiara Indah buat nyari botol,” ucap Ahmad. Abdul hanya bisa mengangguk lesu sambil mengikuti langkah Ahmad menuruni tumpukan sampah yang menggunung.
setelah shalat Dzuhur, keduanya melanjutkan mencari botol ke komplek perumahan Mutiara Indah. Komplek yang biasa mereka datangi setiap hari. Saat keduanya sampai di sana, tampak pemulung lain sedang mengais tong sampah di depan salah satu rumah mewah yang berdiri kokoh di sana.
“Mad, Mad. Liat itu, Mad. Ada pemulung lain yang ikut mulung di sini. Ayo kita usir Mad!,” ucap Abdul berang. Ia kesal karena pendapatannya hari ini belum seberapa.
“Jangan, Dul.” Sahut Ahmad sambil menahan tangan Abdul yang sudah siap melangkah untuk mengusir pemulung itu. “Siapa tau emang rezekinya dia di sini, jadi jangan diusir. Malaikat Mikail nggak akan salah ngasih rezeki kok.” Tambah Ahmad. Abdul berdecak kesal mendengarnya, “Kamu nggak inget Mad? Dulu kita juga pernah diusir pas mulung di kawasan pemulung lain, masa sekarang kamu ngelarang aku ngusir pemulung itu!” Tandas Ahmad.
“Ya justru karena aku inget kita dulu pernah di usir aku nggak mau kamu ngelakuin hal yang sama. Kamu tau kan rasanya? Kamu sedih kan waktu itu? jadi masa kau mau biarin dia ngerasain hal yang sama kayak kita dulu?”
Abdul terdiam mendengar kata-kata Ahmad, hati kecilnya memang mengiyakan apa yang di katakan Ahmad, tapi tetap saja ia belum bisa menerimanya dengan sepenuh hati.
Akhirnya dengan hati setengah dongkol Abdul meninggalkan pemulung itu dan hanya bisa melempar tatapan marah dari jauh. Sementara Ahmad hanya tersenyum tipis dan mengikuti langkah Ahmad.
Saat adzan isya’ berkumandang, Ahmad dan Abdul baru saja keluar dari warteg untuk membeli sebungkus nasi untuk berdua. “Alhamdulillah ya, Dul. Kita masih bisa makan hari ini.” ucap Ahmad sambil membuka bungkusan nasi yang baru saja mereka beli. Abdul mengangguk dengan semangat, tanpa sadar ia meneguk air liurnya karena sejak dari tadi pagi ia belum makan apapun.
Walau hanya dengan 2 potong tempe dan sesendok sambal Ahmad dan Abdul makan dengan lahap, terutama Ahmad. Ia benar-benar lapar karena kemarin ia merelakan sebagian jatah makannya untuk Abdul karena nasi milik Abdul tumpah. Abdul yang melihat Ahmad makan dengan sangat lahap memilih untuk makan dengan perlahan, ia harap Ahmad akan kenyang jika ia sedikit mengalah.
Jika kemarin Ahmad dan Abdul masih bisa memulung untuk sesuap nasi, Hari ini keduanya hanya bisa meringkuk di sudut kolong jembatan karena hujan deras yang mengguyur sejak pagi. Keduanya bahkan harus meninggalkan rumah kardus mereka yang roboh karena tidak kuat mehan derasnya hujan.
“Gimana ini, Mad? Kita mau makan apa hari ini kalau hujannya nggak berhenti?” Tanya Abdul sambil menahan gemetar karena dingin. “Tenang, Dul. Paling sebentar lagi hujannya reda.” Sahut Ahmad menenangkan Abdul. Ucapan Ahmad seakan doa yang mustajabah, tak lama kemudian hujan itu reda, tapi tetap saja mengais sampah ke TPA (Tempat Pembuangan Akhir) saat ini karena tumpukan sampah pasti akan licin dan akan semakin sulit mencari botol disana.
“Kayaknya hari ini kita harus puasa yah, Mad?” Tanya Abdul pasrah. Ahmad mengangguk pelan, ia dan Abdul memang belum menelan apapun bahkan setetes air. Keduanya merapatkan tubuh ke emperan toko yang sudah tutup saat gerimis kembali turun, hari semakin gelap karena matahari mulai tenggelam.
Tiba-tiba ada sebuah mobil yang berhenti di depan toko tempat keduanya berteduh, salah satu jendela mobil itu terbuka dan penumpang di dalamnya melemparkan sebuah bungkusan. Mata Abdul menangkap ada 2 kotak styrofoam di bungkusan itu. “Coba liat itu, Mad. Aku yakin isi di dalam bungkusan itu makanan, Mad” ucap Abdul dengan yakin. Ahmad terdiam, matanya mengikuti arah mobil itu bergerak hingga berhenti di depan salah satu restoran tak jauh dari toko tempat mereka berteduh.
“Sebentar, Dul.” ucap Ahmad lalu menerjang gerimis untuk mengambil bungkusan itu, isinya memang sesuai tebakan Abdul, ada nasi goreng ada di dalam 2 kotak styrofoam itu. Tapi Ahmad tak langsung membawanya menuju Abdul, ia justru melangkah menghampiri mobil yang tadi membuang bungkusan itu. Dan tanpa pikir panjang Ahmad mengetuk kaca jendela supir mobil itu.
Saaat kaca mobil di turunkan, tampak supir berseragam serba hitam dengan earphone tergantung di telinganya menatap sangar pada Ahmad. “Mau apa kamu? Mau minta sumbangan?!” tanya sang supir dengan nada kasar. Ahmad meneguk ludahnya berat sebelum bisa menjawab pertanyaan sang supir.
“A…anu pak. Apa benar tuan yang membuang nasi goreng ini?” Tanya Ahmad dengan suara bergetar sambil menunjukkan bungkusan nasi goreng yang sudah basah kuyup, sesekali Ahmad mengusap wajahnya yang juga basah karena tetesan air hujan.
“Iya, bos saya yang membuangnya.” sahut sang supir sambil menoleh pada bosnya. Seorang wanita bergaya modis yang sedang mendengarkan dengan penasaran. “Saya mau meminta ikhlas untuk makanan ini, Tuan.” ucap Ahmad penuh harap.
Seketika supir dan sang bos saling pandang, seakan terpana dengan ucapan Ahmad.
“Nak, untuk apa dirimu meminta izin untuk memakan makanan yang sudah jelas-jelas saya buang?” tanya sang bos.
“Saya hanya ingin meyakinkan diri saya kalau pemilik makanan ini sudah benar-benar mengikhlaskan makanan ini.” Sahut Ahmad tegas.
“Bagaimana kalau saya belikan makanan yang baru dari restoran ini?” tawar sang bos sambil menunjuk restoran mewah tempat mobil terparkir. Ahmad menggeleng pelan, “Terimakasih atas tawarannya nyonya, saya cukup dengan makanan ini.”
“Tapi makanan itu sudah hampir basi, nak” sanggah sang bos dengan nada prihatin.
Ahmad menggeleng kekeuh, “Sekali lagi terimakasih, nyonya.”
“Sombong sekali kau, nak. Sok sekali menolak rezeki.” ketus sang supir.
“Maaf tuan, saya tidak bermaksud sombong apalagi menolak rezeki. Tapi saya takut jika saya hari ini merasakan makanan yang sangat nikmat, dan esok hari saya tidak mendapatkannya kembali, saya tidak akan merasakan nikmat dengan makanan yang saya sudah dapatkan.” Ahmad mengusap wajahnya lalu kembali mengucapkan terima kasih sebelum beranjak pergi.
Sementara bos dan supir itu hanya bisa memandang Ahmad dan Abdul yang menikmati nasi goreng itu dengan lahap dari kejauhan. Hari ini keduanya mendapat pelajaran sangat berarti tentang arti bersyukur dari seorang pemulung kecil.
Copyright © 2020 - 2023 | MIQ Al Hikam Wonosobo